Selasa, 29 Maret 2011

Selalu Bersyukur, Obat Hilangkan Stres

Senin, 24 Januari 2011 
Hidayatullah.com—HARGA terus melonjak naik, sementara lapangan pekerjaan makin susah. “Jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah, “ demikian rakyat kecil sering mengeluh.
Sementara di saat yang sama, sebagian orang menumpuk-numpuk harta dengan cara mengambil hak orang lain. Seperti banyak yang terjadi saat ini,  sebagian orang mendapatkan harta dari hasil “memeras” orang lain. Mereka harus menipu atau melakukan korupsi dan berbagai cara-cara yang tidak halal.
Padahal semestinya uang tersebut diperuntukan bagi kemaslahatan orang banyak, namun karena banyak tangan-tangan jahil, harta yang seharusnya merata secara adil dinikmati oleh seluruh masyarakat, hanya dinikmati/dimiliki oleh sebagian kecil orang. Mereka mengira, selagi muda dan punya jabatan, kesempatan mengumpulkan harta agak menjadi modal baginya meraih ketenangan hidup dan kebahagiaan.
Hati yang redup
Antara  harta dan ketenangan hati, sesungguhnya dua hal yang berbeda, yang tak ada hubungannya. Sebab, banyak orang berlimpah tapi dia tak mampu merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Ia mampu menyewa hotel dan membeli tempat tidur yang mewah, namun tak bisa membeli rasa nyenyak.
Sementara di saat yang sama, banyak orang bisa bahagia dan tenang meskipun dengan harta yang minim. Di jalan, banyak kita saksikan tukang becak bisa mendengkur menikmati tidurnya, meski badannya tak cukup untuk duduk di kendaraan sederhana itu.
Sifat qana’ah inilah yang mampu menjadi salah satu potensi positif setiap manusia. Sikap qana'ah banyak didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT pada setiap manusia. Qana\'ah sering menjadi energi kehidupan dan membangkitkan semangat. Hal itu tidak lain dapat dijalani dengan cara menikmati hidup walaupun dengan segala kesederhanaan.
Orang yang selalu bersyukur tak akan dibuat pusing oleh kompleksnya warna-warni kenikmatan dunia di sekitar. Selalu menerima jatah pemberian Allah SAW. Sebab dia yakin bahwa, tiap manusia memiliki jatah rizki masing-masing yang dibagi secara adil oleh Allah SWT.
Sebagaimana dalam al-Quran, ”Dan tidak ada makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan dijamin oleh Allah rizkinya.”  (QS. Hud: 8).
Sebaliknya, manusia yang tak pernah puas dengan materi yang diperoleh adalah manusia yang rentran terhadap stres, hatinya redup bahkan mati – walaupun hartanya melimpah. Hati yang mati dan gundah cenderung tidak mudah menerima kenyataan, sehingga apa yang didapat tidak pernah memuaskan.
Maka, jika kita ingin mengubah diri menjadi orang yang selalu bahagia, ceria dan tersenyum di berbagai kondisi, kini saatnya untuk mengubah cara pandang. Cara pandang positif, yaitu selalu bersyukur dengan karunianya dan hidup sederhana. Cara pandang lama, selalu tidak puas dengan rizki cepat-cepat dibuang saat inijuga.
Rasulullah SAW bersabda:“Jadilah kamu seorang yang wara’, nanti kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah, jadilah kamu seorang qanaah, nanti kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah, sedikitkanlah ketawa kerana banyak ketawa itu mematikan hati.” (HR. al-Baihaqi).
Orang yang qana’ah adalah orang yang tidak meletakkan kenikmatan dunianya di hati, ia senantiasa bersyukur apa yang sudah menjadi jatahnya.
Sedang, orang yang tidak bersyukur selalu dibuat pusing oleh kenikmatan yang diperoleh orang lain. Jika tetangganya bisa membeli satu mobil, dia terkungkung oleh ambisi untuk melebihinya, mampu membeli dua mobil. Jika belum bisa, ia dikejar perasaan tidak puas, makan pun tak enak, tidur juga tidak tenang. Sebabambisinya belum tercapai.
Itulah pentingnya kita simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:“Lihatlah orang yang lebih bawah daripada kamu, jangan melihat orang yang tinggi daripada kamu, karena dengan demikian kamu tidak akan lupa segala nikmat Allah kepadamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Di kesempatan lain Nabi bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bisa jadi apa yang kita miliki dengan segala keterbatasan, tidak dimiliki orang lain. Sehingga walaupun yang kita miliki terbatas, jelek dan tak bermakna akan menjadi lebih bernilai jika kita melihat orang lain yang masih ada di bawah kita. Di saat itulah, kita bisa bersyukur masih bisa memiliki sesuatu yang sedikit, sedangkan banyak orang lain yang tidak memilikinya. Makanya, dalam soal materi, janganlah melihat kepada orang yang di atas (yang memiliki banyak harta) akan tetapi lihatlah orang yang masih di bawah kita.
Oleh sebab itulah, qana'ah dan syukur adalah salah satu tanda berkualitasnya iman seseorang. Sedang hasud dan dengki adalah ciri nafsu yang terbelenggu syetan. “Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan Allah diikuti perasaan tunduk pada-Nya” kata Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Syukur tidak hanya diucap lisan. Syukur hakiki ada ada perasaan dalam hati, bahwa ia puas dengan apa yang telah diberi Allah.
Apabila hati tunduk, maka akan diikuti oleh organ-organ tubuh lainnya untuk tunduk pada-Nya. Inilah yang disebut ta’at. Seorang manuisa tidak disebut patuh kecuali ia buktikan dengan ta’at pada semua perintah-Nya. Berarti, aktifitas syukur itu biasanya adalah melibatkan hati dan organ tubuh.
Dalam Kitab al-Ghunyah Syeikh al-Jilani membagi syukur menjadi tiga; “Syukur dengan lisan, yaitu mengakui adanya nikmat Allah dan merasa tenang. Syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian kepada-Nya. Serta Syukur dengan hati, yaitu ketenangan diri atas keputusan Allah dengan senaniasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan.
Cara Bersyukur
Tentang bagaimana cara bersyukur, kitab al-Ghunyah memberi arahan; Pertama, syukur dengan lisan, yakni dengan cara  mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada diri kita sendiri, daya, kekuatan atau usaha kita. Tidak pula disandarkan kepada orang lain yang melakukan dengan tangan mereka karena kamu dan mereka hanyalah sebagai perantara, alat dan sarana terhadapnya, sedangan penentu, pelaksana, pengada dan penyebabnya hanyalah Allah. Allah lah yang menentukan dan menjalankan sehingga Dia lebih berhak untuk disykuri dari selain-Nya.
Kedua, syukur dengan hati. Yaitu keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh. bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan, baik lahir maupun batin, gerakan maupun dia kita, adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya. Dan syukurnya  isan merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hati.
Ketiga, syukur dengan perbuatan. Bersyukur dengan anggota badan adalah  dengan cara menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk selainnya. Tidak memenuhi seruan orang yang mengajak untuk menentang Allah. Hal ini juga mencakup jiwa, hawa nafsu, keinginan, cita-cita dan makhluk-makhluk lainnya. Menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai dasar yang diikuti dan pemimpin, sedangkan selainnya dijadikan hamba, pengikut dan makmum. Allah SWT berfirman: ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS Al-Dhuha: 11).
Bersyukur sesungguhnya juga menjaminkan rizki. Semua jenis syukur tersebut tidak lain adalah taqwa kepada-Nya. Taqwa sebagaiman pernah difirmankan-Nya mendatangkan rizki. “Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak).” (Q.S al-Nahl:97).
Bila kita mau lakukan langkah-langkah itu, jiwa tak akan terbelenggu oleh ambisi duniawi, tidak terpenjara oleh nafsu dan hati pun lapang. Tidak stres dan gundah. Bahkan bisa merubah seseorang menjadi yang pemurah, walau tak berkantong tebal. Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari-Muslim).
Mari kita rayakan bahagia ini bukan karena materi, tapi dengan senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang dikaruniakan-Nya pada kita semua.[Kholili Hasib]

Agar Tetap Tersenyum di Kala Sakit

Kamis, 20 Januari 2011 
Hidayatullah.com--Manusia tidaklah selalu berada pada kondisi yang fit dan sehat. Hampir setiap manusia pernah mengalami keadaan yang namanya sakit. Karenanya, karunia berupa kesehatan selayaknya menjadikan manusia semakin bersyukur kepada-Nya bukan menjadikan takabur, apalagi menjadi  kufur.
Sakit, hendakalah tidak dimaknai dengan berbagai macam penafsiran negatif. Sebab hal ini justru akan menggiring kepada perasaan su’udzan (buruk sangka) kepada Allah SWT, yang berakibat tidak saja memperlambat kesembuhan tapi juga mengundang kemurkaan-Nya.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku menuruti persangkaan baik para hamba kepadaku. Hendaklah ia berprasangka sekehendaknya. Apabila ia berprasangka baik, maka akan baik, apabila ia berprasangka buruk maka akan buruk pula.” (HR.Thabrani). Jika berbaik sangka kepada-Nya, maka Insya Allah segala kesulitan akan menjadi mudah. Rasa sakit yang berat akan terasa lebih ringan.
Memang, adakalanya penyakit itu menjadi cobaan, musibah, ataupun adzab. Namun, sebaiknya manusia tidak terburu memandang secara negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengambil  hikmah dari semua itu. Setiap penyakit, bisa diambil hikmah dan faedahnya untuk memperbaiki kualitas hidup.
Agar sakit tidak membuat stres tapi justru membahagiakan, maka kita harus melakukan beberapa langkah;
Pertama, Husnudzan (berprasangka baik) pada Allah. Jika kita berprasangka baik kepada-Nya, maka Allah SWT pun akan husnudzan kepada kita. Hal ini yang kelak membawa konskuesi positif bagi kesehatan  dan di akhirat nanti rahmat-Nya dapat direngkuh. Husnudzan ini merupakan energi untuk memulihkan kondisi si sakit.
Sebaliknya, bila kita menuduh Allah dengan hal-hal negatif – Allah tidak kasihan, kejam dan tidak adil – maka rasa sakit itu bisa bertambah parah. Sebab, menurut psikolog, orang sakit yang terus-terusan dihantui perasaan negatif (negative thinking), akan memperkuat penyakitnya dan memperlambat kesembuhan.
Kedua, menghambil hikmah dan introspeksi diri. Terkadang, sakit mampu menyadarkan seorang hamba pada hakikat kehidupan. Mengubah manusia menjadi sosok yang kata Rasulullah SAW hamba al-Kayyis (cerdas). Sebagaimana yang perdah disabdakan oleh Rasulullah SAW, hamba yang cerdas adalah adalah hamba yang meletakkan ibadah untuk akhirat menjadi prioritas utama dalam hidupnya.
Tak jarang orang jahat atau ahli maksiat berubah menjadi lebih religius setelah ia didera penyakit. Kesadaran ini terbangun setelah ia bisa introspeksi diri. Musibah atau penyakit yang diderita hakikatnya teguran Allah agar seseorang itu kembali kepada Allah. Suatu musibah yang dapat menyadarkan itu jauh lebih baik dari pada kesehatan yang melalaikan.
Tentunya, hamba yang mampu menggali hikmah dibalik sakit ini hanyalah hamba yang sabar dalam menghadapi serangan penyakit ini. Tanpa sabar, seseorang tak akan mampu menyibak hikmah dan fadhilah (keutamaan) penyakit yang dideritanya. Ia pun bahkan tidak dapat memperoleh apa-apa. Pahala tidak, kesembuhan pun barangkali bakal lebih lama.
Tidaklah semua musibah yang kita pandang buruk, akan buruk pula di sisi Allah SWT. Keburukan di benak manusia belum tentu kejelekan di sisi Allah. “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Mengambil Hikmah
Selain akan membantu penyembuhan – dari sisi kesehatan, positive thinking memiliki nilai tak terhingga dari pada sembuh itu sendiri. Sebagian manusia barangkali memandang sakit sebagai sesuatu yang buruk. Tapi bagi manusia beriman, sudut pandang negatif itu tidak mendapat tempat. Sakit, baginya justru merupakan karunia. Inilah yang menyebabkan dia harus tetap tersenyum bahagia, meski sedang sakit.
Bagi yang sedang sakit, janganlah bersedih, sebab terdapat pahala yang lumayan besar bagi orang yang tertimpa sakit. Pertama, Pahala dan Ridha Allah mengalir kepada orang yang sakit. Rasulullah SAW bersabda:
إن عظيم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضى ومن سخط فله السخط
“Sesungguhnya besar pahala itu seimbang dengan besarnya musibah. Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka ia akan mengujinya. Barangsiap yang ridha maka dia mendapat keridhaan dan barangsiapa yang benci, maka baginya murka Allah.” (HR.Tirmidzi)

Menurut hadis di atas, sakit adalah sebuah karunia. Sebab, kondisi itu adalah sebagai bentuk rasa sayang Allah kepada hambanya. Selama sakit –jika sabar menerimanya –dosanya akan diampuni. Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bepergian, maka pahalanya tetap ditulis seperti ketika ia dalam keadaan sehat atau mukim.”  (HR. Bukhari). Kesalahan-kesalah yang pernah diperbuat Insya Allah juga akan dilebur oleh Allah SWT:
وما أصبكم من مصيبة فبما كسبت أيديــكم ويعفوا عن كثير

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Asy-Syuraa:30).
Oleh karenyanya, orang sakit tidak perlu risau pahala ibadahnya berkurang. Seseorang shalat dengan berbaring – pada saat sakit – pahalanya sama besar dengan shalat orang normal. Allah SWT Maha Adil. Tidak akan membeda-bedakan pahala orang yang ibadahnya ‘tidak normal’.
Kedua, Sakit merupakan suatu kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:
من يـــرد الله خيرا يصب منه
“Barang siapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Dia akan memberi orang itu cobaan.” (HR. Bukhari). Kebenaran sabda beliau sudah sering dibuktikan. Coba kita perhatikan betapa banyak orang yang fasiq, atau ahli maksiat, setelah tertimpa penyakit tertentu ia bertobat kembali ke jalan yang benar. Saat sakit mendera, ia bermuhasabah  merenungi kehidupan dan menyadari segala kesalahan. Bahkan banyak pula kisah orang masuk Islam setelah ia sembuh dari penyakit. Ini merupakan kehendak Allah SWT kepada hambanya agar hambanya menjadi orang yang baik. Dalam hal ini sakit menjadi pintu hidayah Allah SWT. Maka seyogyanya, penderita sakit itu tidak stress dan depresi. Sebaliknya, patut disyukuri. Sebab, boleh jadi sakit itu membawanya ke pintu hidayah.
Ketiga, Meraih derajat yang tinggi.  Dalam hadis dijelaskan bahwasanya cobaan itu dapat mengantar kepada derajat yang tinggi. “Ada seorang hamba yang meraih kedudukan mulia di sisi Allah bukan karena amalnya. Allah memberi cobaan dengan sesuatu yang ia tidak sukai hingga ia dapat meraih derajat mulia tersebut.” (HR. Abu Ya’la).
Tidak ada orang yang bebas penyakit. Sakit dan musibah adalah ketentuan Allah. Sakit bukan monopoli orang yang dianggap jelek. Semua manusia, para ulama dan Nabi pun  mengalaminya.Bahkan para wali dan nabi paling berat cobaanya.
إن من أشد الناس بلاء الأنبـــياء، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
“Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi. Kemudian yang orang setelahnya, orang setelahnya (orang yang derajatnya dibawahnya).” (HR. Ahmad).
Semakin tinggi derajat seseorang, semakin berat cobaan yang diderita. Seorang mu’min yang ditimpa penyakit berat atau cobaan yang pedih tidaklah berarti menjadi pertanda bahwa ia tidak diridhai oleh Allah. Nabi Ayyub pun diberi cobaan yang paling berat. Tapi beliau orang yang tinggi di sisi-Nya.
Nabi Ayyub as adalah seorang Nabi yang patut dijadikan teladan bagi orang yang didera penyakit. Nabi Ayyub as adalah Nabi yang kaya raya serba kecupukan dan tubuh yang sehat. Tapi, suatu ketika Allah SWT mengujinya dengan memberi penyakit – sehingga kekuatannya hilang. Tidak hanya itu, hartanya pun lambat laun berkurang. Yang lebih menyakitkan lagi istri dan anak-anaknya meninggalkan beliau. Kenyataan ini beliau alamai selama kurang lebih delapan belas tahun.
Jadilah beliau seorang yang terhinakan. Namun, bukan maksud Allah SWT merendahkan Nabi-Nya. Derajat dan kedudukan di sisi-Nya bahkan meroket. Sebab beliau betul-betul menerima dengan kesabaran. Karena kesabarannya, Allah SWT mengembalikan semua yang hilang. Kekuatan, kesehatan, harta, istri, anak dan kerabat akhirnya kembali kepada beliau.
Belajar dari kisah tersebut, kita sepatutnya menyadari bahwa kasih sayang Allah SWT itu begitu besar. Kasih sayang tidak selalu diwujudkan dalam bentuk harta melimpah, kekuatan dan kesehatan yang prima. Namun, terkadang Allah SWT mewujudkan perhatiannya dalam bentuk sesuatu yang menurut manusia ‘hina’ yaitu penyakit. Bahkan seringkali Allah malah mengadzab hambanya dengan memberi kekayaan.
Dengan kekayaan itu, si hamba terjerumus dalam kubangan maksiat. Sebaliknya betapa banyak kisah seseorang menjadi lebih salih setelah sembuh dari penyakit. Ini menunjukkan kenikmatan itu bisa menjadi laknat, dan penyakit berubah menjadi rahmat.
Maka, hendaklah kita mengingat-ingat perbuatan ketika sehat dahulu. Agar bisa berintrospeksi diri untuk lebih mensyukuri nikmat kesehatan dan menambah semangat untuk bersabar dan sembuh.[Kholili Hasib]

Terapi Menyembuhkan Sifat Takabur

 
Senin, 17 Januari 2011 
Hidayatullah.com--Gerak-gerik hati, perlu dikelola dengan baik dengan menggunakan ilmu. Sebab ilmulah yang  bisa mengidentifikasi mana yang baik dan buruk dalam hati.
Seseorang yang kehilangan ilmu, bisa dipastikan terjebak dalam ‘penyakit’ yang berujung kepada kesesatan. Sebab, setan akan mudah memasuki hati yang tak terisi ilmu. Salah satu ‘penyakit’ mengantar pada kesesatan itu adalah penyakit bagga diri (ujub) dan sombong (kibr).
Biasanya, seseorang yang terjangkiti sifat takabur (sombong), sulit menerima kebenaran. Dikiranya, hati sudah aman dari berbagai godaan. Padahal setan tidak berpuas, jika seseorang melaksanakan ibadah. Setan berusaha, bagaimana caranya ibadah itu menjadi sia-sia bahkan menjadi ‘bumerang’ bagi pelakunya.
Ujub dan kibr, adalah dua sifat iblis yang saling berkorelasi. Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari bangga diri. Yaitu merasa dirinya suci, dan bersih dari segala kekurangan, dan memandang orang lain dengan pandangan rendah.
Sombong dan bangga diri disebut sifat iblis, karena iblislah makhluk Allah yang pertama kali melakukan sifat tercela ini. Iblis awalnya makhluk Allah yang taat menghamba pada-Nya dalam waktu yang cukup lama. Namun, Allah akhirnya melaknat dan mengusir dari syurga dan menyumpahinya menjadi penghuni neraka akibat kesombongannya. Ia sombong,  merasa lebih mulya dari Adam as.
Demikian pula dengan mutakabbir (0rang yang sombong). Kebanyakan orang yang dengan ilmu tidak akan mengalami kemajuan berarti, karena sudah merasa mencapai puncak paling tinggi (top of the top). Ilmu yang hakikatnya masih pada level dasar, tapi dirasa sudah mencapai tingkat doktor. Akibatnya, nasihat orang disekitarnya tak dihiraukan. Ia pun jatuh pada kesesatan yang nyata. “Mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS.Al-Kahfi: 104).
Rasulullah mendifinisikan kibr dengan bathorul haq wa ghomtu an-Nas (menolak kebenaran dan meremehkan orang lain) (HR. Muslim).
Kebenaran --apapun bentuknya dan siapapun yang menyampaikan-- wajib diterima dengan lapang hati. Kelapangan hati ini perlu ditanamkan dalam-dalam pada diri pemimpin, da'i atau thalibul 'ilm. Sebab, ujub dan takabur ini biasanya menghinggapi mereka, walau sekecil apapun.
Seseorang yang baru saja mempelajari ilmu, perlu memahami isi hati kecilnya. Suatu saat kadang terbesit dalam hati bahwa ia sudah 'alim, pandai berdalil dan sedikit-sedikit menantang debat. Ibarat orang yang baru mempelajari beberapa jurus bela diri, biasanya ia menantang siapa saja untuk beradu fisik.  
Belajar ilmu agama juga demikian, pada fase-fase awal, sering kali kita terjatuh pada kekeliruan. Hal ini adalah wajar. Akan tetapi, ia akan tetap pada kesalahan jika nasehat orang saat ia melakukan kesalahan tidak didengar.
Setan, tidak akan diam melihat seseorang yang sedang belajar agama. Ia tida rela ilmu dan imannya setiap waktu meningkat. Salah satu caranya, membisikkan bahwa si pelajar itu telah menjadi 'alim, tidak perlu belajar banyak lagi, dan tidak butuh nasehat orang lain.
Setan memang selalu menggiring manusia kepada hal-hal yang berbau instan, membisikkan mimpi-mimpi indah. Menjadi orang 'alim dalam waktu yang singkat, meraih gelar ustadz atau kyai dengan mudah dan cepat. Tidak perlu belajar dari ayunan sampai liang lahat (uthlubul 'ilma minal mahdi ila al-lahdi), sebagaimana pesan Rasulullah. Tapi seolah-olah hanya  mengikuti traning singkat atau ikut audisi dai lalu dengat cepat orang memanggilnya ustadz. Jadilah ia ulama karbitan.
Akibat dari cara-cara yang instan ini, ia tidak sempat mempelajari ilmu dan bakal menjadikannya penyakit hati.
Sebenarnya tidak akan ada masalah bila, sang da'i tadi terus belajar di tengah kesibukannya berdakwah. Yang menjadi problem adalah, bila sudah merasa menjadi juru dakwah ia enggan menyempurnakan ilmu, dan merasa sudah top.
Imam al-Ghazali menyatakan, “orang bodoh adalah orang yang merasa dirinya paling pintar.”
Bagaimana bila ada orang yang ilmunya bertambah, tapi takaburnya menjadi-jadi? Salah satu sebanya menurut Imam al-Ghazali karena ia mendalami ilmu agama dalam keadaan hatinya kotor. Rajin mengaji tapi maksiat jalan terus.
Atau, niat awalnya sudah salah. Menuntut ilmu dengan niat mencari pengaruh, jabatan dan harta atau menjadi ustadz biar kaya. Dan fenomena ini agaknya sudah menjadi tren saat ini.
Membasmi Ujub
Lantas bagaimana menyembuhkan penyakit ujub dan takabur ini? Kesombongan dan ujub, biasanya disebabkan oleh faktor nasab, ketampanan, kekayaan dan ilmu.
Untuk soal nasab (keturunan), seorang Muslim harus sadar bahwa semulya apapun nasab ayah atau kakek, semuanya berasal dari cairan yang hina dan dari tempat yang rendah yaitu tanah.
Sombong karena ilmu merupakan satu bentuk kesombongan yang paling dahsyat daya rusaknya – yang rumit untuk menyembuhkannya. Banyak kasus seorang 'alim jatuh pada kesesatan karena faktor ini. Model kesombongan seperti ini butuh usaha dan niat yang sungguh-sungguh. Maka orang yang berilmu mesti harus mengetahui dua hal; pertama, kesadaran bahwa tanggung jawab 'alim di hadapan Allah lebih berat.
Seorang 'alim yang durhaka dengan ilmunya lebih buruk daripada orang bodoh yang maksiat. Seorang kiai dan orang bodoh yang sama-sama berzina, siksanya lebih pedih seorang kiai.
Kedua, bahwa sifat sombong itu hanya milik Allah. Makhluk lainnya tidak berhak bertakabur. Bila seseorang itu bertakabur, maka sesungghuhnya ia telah merampas hak Allah. Bagaimana Allah tidak murka dengan orang seperti ini?
Secara umum, Imam al-Ghazali memberi beberapa petunjuk sebagai berikut; Yaitu, adanya sinergi atau kombinasi antara ilmu dan amal.
Seorang muslim hendaknya menyadari hakikat diri dan hakikat Allah (ma'rifatullah). Hakikat manusia adalah makhluk hina. Ia dilahirkan dari sesuatu yang hina (QS. Al-Insan: 1-2). Saat lahir, ia sama sekali tidak memiliki apa-apa dan lemah. Semua kepandaian, kecerdasan dan keluasan ilmu semuanya dari Allah.
Sedangkan Allah SWT adalah dzat yang serba sempurna. Dialah yang berhak sombong.
Adapun penyembuhan dengan amal dapat dilakukan dengan melatih diri menjadi orang tawadhu', setinggi apapun ilmunya.
Rasulullah SAW telah memberi teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau adalah manusia yang paling mulia. Tapi, Rasulullah SAW adalah tipe pemimpin yang merakyat. Ia tak segan bergumul dengan orang-orang miskin.
Dalam satu riwayat beliau sampai-sampai pernah makan di atas tanah tanpa alas bersama sahabat. Seorang ulama' salaf pernah melatih diri dengan makan dan ngobrol bersama para penjual di emperan pasar. Padahal ia sangat terpandang di mata umat. Hal ini dilakukannya semata-mata demi menyingkirkan sifat kibr yang hinggap di hatinya.Melatih hidup sederhana inilah yang kadang sulit dilakukan pemimpin.
Membiasakan diri dengan sesuatu yang dipandang rendah ini akan melunturkan sifat sombong dan bangga diri dalam hatinya.
Semuanya tergantung pada kesedian diri, adakah kerelaan dari para pemimpin, dan juru dakwah untuk bersahaja, terbuka menerima kebenaran, merakyat, dan dekat dengan umat. Sebaliknya orang yang menutup diri, tidak jujur dan egois biasanya mudah diombang-ambingkan oleh kesesatan, dan mudah tergoda oleh harta, jabatan dan prestasi. [Kholili Hasib/hidayatullah.com]

Membiasakan Salam, Memperkuat Barisan

Selasa, 22 Februari 2011 
Hidayatullah.com--Kebiasaan yang selalu dicontohkan Rasulullah SAW adalah memulai salam dan selalu menjawab salam para sahabat. Bahkan suatu hari Rasulullah SAW berjalan kemudian bertemu anak kecil. Lantas beliau mengucapkan salam kepada anak kecil itu (HR. Muslim).
Mengucapkan salam dan menjawabnya merupakan adab kepada saudara sesama Muslim. Adab ini begitu penting sebab ia menjadi sebab meningkatkan rasa persaudaraan dan menentramkan hati di antara mereka.
Berkaitan dengan adab bermu’amalah dengan sesamanya, Rasulullah SAW bersabda: “Hak seorang Muslim kepada saudara Muslim lainnya ada lima yaitu; menjawab salam, mendo’akan ketika bersin, memenuhi undangannya, menjenguk ketika sakit dan mengantarkan jenazah.” (HR. Muslim).
Syeikh Nawawi bin Umar al-Bantani menegaskan, bahwa menyebarkan salam di antara sesama saudara Muslim melanggengkan rasa cinta di antara mereka dan merupakan penghormatan terhadap agama.
Makanya, jika kita memasuki suatu majelis atau bertemu sejumlah rombongan saudara Muslim, disunnahkan untuk memulai mengucapkan salam. Hikmahnya, agar tetap ada rasa persaudaraan dan mereduksi rasa permusuhan. Rasulullah SAW mengingatkan: “Ucapan salam itu sebelum (memulai) pembicaraan.” (HR. Tirmidzi).
Terkadang pada saat kita di dalam suatu majelis atau rombongan orang banyak, terjadi interaksi komunikasi atau perdebatan. Jika tidak disadari oleh rasa ukhuwah Islamiyah, setan mudah mengadu-domba. Dalam teori psikologi massa, pada saat seseorang berada dalam kelompok massa, nalar bisa berkurang. Dan orang mudah disulut rasa dendam dan marahnya.
Di sinilah pentingnya etika mengucapkan salam sebagaimana di ajarkan oleh Rasulullah SAW. Kita disunnahkan mengucapkan salam kepada saudara Muslim baik berjumlah satu atau sekumpulan Muslim banyak, agar persaudaraan Islamnya tetap terjaga. Tidak direduksi oleh tendensi-tendensi ego pribadi.
Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, ketika seorang Muslim mengendarai kendaraan disunnahkan memulai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan dan jika berjalan ia disunnahkan mengucapkan kepada saudaranya yang sedang duduk, sedangkan jika dua rombongan bertemu, rombongan yang jumlahnya kecil disunnahkan memulainya (HR. Muslim).
Di samping memperkuat rasa ke-Islamannya, salam merupakan terapi untuk menghilangkan sifat sombong, melatih diri untuk bersikap tawadlu’. Menurut Syeikh Nawawi al-Bantani, inti sikap tawadlu’ adalah memulai salam.
Berdasarkan hal itu maka, tidak keharusan seorang guru menunggu ucapaan salam muridnya, atau seorang pemimpin menanti bawahannya memulai mengucapkan salam. Jika mereka bertemua, seorang guru hendaknya tidak segan untuk memulai mengucapkan salam. Begitu pula seorang pemimpin. Rasulullah SAW telah memberi contoh hal tersebut, ia mengucapkan salam kepada seorang anak kecil.
Memulai mengucapkan salam adalah sunnah sedangkan menjawabnya adalah wajib. Budaya salam ini merupakan budaya sunnah yang melahirkan nilai-nilai hikmah, menguatkan rasa ukhuwah sesama Muslim dan melatih diri untuk beriskap tawadlu’.
Oleh sebab itu, maka tak sembarang salam diucapkan. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dalam al-Ghunyah menjelaskan aturan salam tersebut. Bahwa memulai mengucapkan salam adalah sunnah, kecuali kepada orang musyirk dan kafir. Juga salam kepada wanita yang bukan muhirm dimakruhkan dikhawatirkan timbul fitnah.
Salam adalah ungkapan do’a kepada sesamanya, makanya tidak diperkenankan diucapkan kepada orang kafir. Salam itu sebuah konsep yang khusus berlaku untuk sesama Muslim. Rasulullah SAW melarang mengucapkan salam kepada non-Muslim “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani,” kata Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Di tempat yang lain beliau memberi arahan: “Apabila ada Ahlul Kitab mengucapkan salam kepadamu maka, jawablah dengan; “alaykum”. (HR. Muslim).
Jawaban ‘alaykum’ saja memberi arti bahwa, kita tidak mendoakan kepadanya. Padahal bila sesama Muslim yang mengucapkan salam, diutamakan kita menjawab dengan tambahan doa, misalnya wa’alaykum salam ‘warahmatullahi wabarakatuh’, atau cukup dengan ‘wa’alaykum salam warahmah’. Bahkan kita bisa menambah dengan kalimat doa lainnya, misalnya, wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh wamaghfiratuh’.
Hal ini memberi petunjuk, bahwa memang salam itu adalah konsep Islam yang bertujuan menguatkan rasa persaudaraan sesama Muslim. Maka biasakanlah salam kepada saudara sesama Muslim di manapun. Jika kita tidak mengenal seseorang akan tetapi tahu bahwa dia Muslim, maka hendaknya kita ucapkan salam kepadanya. Maka, mari kita mulai memperkuat barisan umat Islam (shufuful Muslim) denga menebarkan salam, agar kita saling mencintai dan memiliki solidaritas sesamanya.*/Kholili Hasib

Kerusakan Akibat Kejahatan Lidah



Rabu, 09 Februari 2011 
Hidayatullah.com--Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka”.
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim).
Kisah dalam hadis tersebut memberi pelajaran akan bahaya lidah. Betapa jika tidak dikontrol iman, lidah bisa menjerumuskan ke dalam neraka. Meskipun seseorang itu ahli ibadah, banyak shalat, puasa, akan tetapi bila tidak mampu menjaga lidahnya dari memfitnah, berbohong dan hasud – amalannya tersebut sia-sia.
Oleh sebab itu, lidah bisa menjadi media taat kepada Allah, dan bisa pula untuk memuaskan hawa nafsu. Lidah bisa digunakan untuk membaca al-Qur’an, hadis dan menasihati, lidah juga berubah seperti layaknya penyulut api. Memfitnah,bersaksi palsu, ghibah, namimah, dan memecah belah umat. Jika seperti ini seberapa banyak pun ibadah kita tak ada gunanya, semuanya gugur gara-gara lidah yang terselip.
Rasulullah SAW memperingatkan, bahwa bahaya lidah adalah salah satu perkara yang paling beliau khawatirkan. Sebabnya, semua amal akan berguguran jika lidah kita jahat. Suatu kali salah seorang sahabat Sufyan al-Tsaqafi bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!" Beliau menjawab: "Katakanlah, `Rabbku adalah Allah`, lalu istiqomahlah". Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?". Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: “Ini." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dua Kerusakan
Bentuk kejahatan lidah itu ada dua. Yaitu, lidah yang banyak bicara kebatilan dan lidah yang diam terhadap kebatilan. Kejahatan lidah memang bisa setajam pedang. Jika kita tidak hati-hati menggunakannya, maka ketajamannya bisa menumpahkan darah, sebagaimana pedang menusuk tubuh manusia. Bisa pula lidah itu membiarkan ‘api’ yang membakar semakin besar.
Maka, ada dua bahaya besar yang bisa menimpa lidah kita. Bisa karena banyak bicara yang tidak perlu dan menyesatkan atau diam terhadap kebenaran. Dua-duanya adalah sumber kerusakan.
Imam Abu 'Ali ad-Daqqaq pernah mengatakan: "Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu."
Gara-gara lidah, seseorang tergiring masuk neraka. Menjadi hamba yang merugi, sebab pahala orang yang berdosa karena kerusakan lidah akan dihadiahkan kepada orang yang didzalimi. Gara-gara lidah yang jahat kita bisa menjadi hamba yang bangkrut (muflis).
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang pada hari kiamat nanti datang membawa pahala shalat, zakat dan puasa, namun di samping itu ia membawa dosa mencela, memaki, menuduh zina, memakan harta dengan cara yang tidak benar, menumpahkan darah, dan memukul orang lain.” (HR.Muslim)
Bahaya pertama adalah tersebarnya kebatilan agama yang diakibakan oleh lidah mengucapkan kata-kata yang batil ataupun banyak bicara pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Kedua-duanya merusak masyarakat dan hubungan baik dengan orang lain.
Oleh sebab itu, jika kita tidak tahu terhadap suatu persoalan sebaiknya diam terlebih dahulu sebelum memperoleh jawaban dari ahlu dzikri (orang yang ahli). Jika tidak, kata-kita kita yang tidak berdasarkan ilmu itu bisa menyesatkan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).
Lebih baik diam jika dihadapkan terhadap persoalan yang belum kita ketahui. Akan tetapi, ingat tidak sekedar diam selamanya. Akan tetapi kita wajib mencari tahu jawaban yang belum kita ketahui. “Janganlah kamu bersikap terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Isra': 36).
Kita mesti bertanya kepada ahlinya terhadap suatu persoalan. Allah SWT memberi arahan: “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43). Janganlah memberi fatwa, jika kita tidak tahu ilmunya, jangan pula menyebarkan informasi yang kita belum paham asal-usulnya. Sebab, ilmu adalah pondasi. Jika ilmu kita salah, maka akan gugurlah seluruh amal-ibadah kita.
Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan orang yang sombong.” (Jami’ al-Shaghir).
Kerusakan ilmu juga diakibatkan oleh banyaknya perkataan batil yang bergulir. Banyak orang ahli bicara dan beretorika namun tidak berilmu. Karena tidak berdasarkan ilmu, maka pembicaraannya bisa menyesatkan, mencerai-beraikan ukhuwah, dan memecah silaturahmi.
Kerusakan yang kedua adalah kebenaran yang disembunyikan dan kebatilan yang dibiarkan. Ini akibat lidah yang diam terhadap kebatilan. Imam Ibn Hajar dalam kitab al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, orang yang dilaknat Allah adalah seorang berilmu (ulama’) yang mendiamkan terhadap bid’ah agama.
Dalam hadis tersebut di atas, Rasulullah SAW tidak sekedar memerintahkan untuk diam, akan tetapi hadis itu memberi pelajaran kita untk tidak berkata kecuali yang baik dan benar.
Kita tidak diperintah untuk terus menjadi ‘orang yang diam’. Orang yang terus-menerus diam adalah orang yang bodoh. Rasulullah SAW tidak mengajarkan itu. Sering kali kita mendengar keluhan saudara-saudara kita: “Saya masih awam belum tahu apa-apa”. Kata-kata ini terus ia ulang-ulangi. Islam tidak mengajarkan kita untuk terus menjadi awam.
Sebab, jika kita terus menjadi awam, maka kita akan terus menjadi orang yang ‘diam’. Padahal kita dituntut untuk mendakwahkan kebaikan, menyebarkan hikmah dan meluruskan kebatilan. Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.”
Jadi kerusakan agama itu bisa karena tersebarnya kebatilan yang digulirkan oleh mulut-mulut yang tak berilmu, bisa juga disebabkan didiamkannya kebatilan oleh orang yang berilmu. * Kholili Hasib/hidayatullah.comtika Berbicara
Karena begitu pentingnya menjaga mulut agar tidak jatuh kepada kebatilan maka, mengetahui adab dalam berbicara adalah keharusan – untuk diamalkan. Sebab kebikan seseorang itu dalam berbicara menunjukkan keilmuan dan keimanannya.
Pertama, di antaranya sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bahwa jika seseorang berbicara, Rasulullah SAW selalu menghadapkan wajah dan tubuhnya ke arah orang yang bicara tersebut. Mendengarkan dengan seksama, tidak memotong pembicaraannya kecuali orang itu yang menghentikan sendiri.
Kedua, jangan tergesa-gesa mengeluarkan kata-kata atau statemen sebelum dipikirkan dan diyakini benarnya. Pikirkanlah terlebih dahulu kata-kata kita dan pikirkan juga apa kira-kira yang akan terjadi seandainya kita tidak membicarakannnya.
Ketiga, pilihkan kata-kata yang kita ucapkan itu dengan pilihan kata yang baik-baik. Hindarkan kosa kata yang buruk dan menyesatkan.
Keempat, ketika berbicara – terutama kepada orang yang lebih tua, guru atau berilmu – hendaknya dengan nada tawadlu’. Jangan tampakkan gaya bicara orang yang sok tahu atau apapun yang menunjukkan kesombongan. Jangan pula bernada mengejek, memandang rendah, menunjukkan ego maupun kelebihan diri kita atau menghasut sesama tema, sebab itu semua menyebabkan pudarnya ukhuwah.
Kelima, jika pembicaraan kita tidak memerlukan penjelasan yang melebar, maka hendaknya perkataan kita ringkas namun mengenai sasaran. Usahakan meringkas kata-kata baik yang perlu disampaikan. Jika penjelasan itu tidak memerlukan keterangan panjang, jangan sampai malah berpanjang lebar sehingga justru akan membuat bosan orang atau malah membingungkan.
Keenam, jika kita dihadapkan dengan orang banyak, maka hadapkanlah pandangan kita secara merata ke semua pendengar. Jangan hanya menatap pada satu orang saja atau sebagaian di antara mereka.
Berkenaan dengan itu semua kita perlu simak hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kebanyakan kesalahan manusia ialah terletak pada lidahnya.” (HR Thabrani).

Kerusakan Akibat Kejahatan Lidah (1)

Rabu, 09 Februari 2011 
Hidayatullah.com--Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka”.
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim).
Kisah dalam hadis tersebut memberi pelajaran akan bahaya lidah. Betapa jika tidak dikontrol iman, lidah bisa menjerumuskan ke dalam neraka. Meskipun seseorang itu ahli ibadah, banyak shalat, puasa, akan tetapi bila tidak mampu menjaga lidahnya dari memfitnah, berbohong dan hasud – amalannya tersebut sia-sia.
Oleh sebab itu, lidah bisa menjadi media taat kepada Allah, dan bisa pula untuk memuaskan hawa nafsu. Lidah bisa digunakan untuk membaca al-Qur’an, hadis dan menasihati, lidah juga berubah seperti layaknya penyulut api. Memfitnah,bersaksi palsu, ghibah, namimah, dan memecah belah umat. Jika seperti ini seberapa banyak pun ibadah kita tak ada gunanya, semuanya gugur gara-gara lidah yang terselip.
Rasulullah SAW memperingatkan, bahwa bahaya lidah adalah salah satu perkara yang paling beliau khawatirkan. Sebabnya, semua amal akan berguguran jika lidah kita jahat. Suatu kali salah seorang sahabat Sufyan al-Tsaqafi bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!" Beliau menjawab: "Katakanlah, `Rabbku adalah Allah`, lalu istiqomahlah". Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?". Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: “Ini." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dua Kerusakan
Bentuk kejahatan lidah itu ada dua. Yaitu, lidah yang banyak bicara kebatilan dan lidah yang diam terhadap kebatilan. Kejahatan lidah memang bisa setajam pedang. Jika kita tidak hati-hati menggunakannya, maka ketajamannya bisa menumpahkan darah, sebagaimana pedang menusuk tubuh manusia. Bisa pula lidah itu membiarkan ‘api’ yang membakar semakin besar.
Maka, ada dua bahaya besar yang bisa menimpa lidah kita. Bisa karena banyak bicara yang tidak perlu dan menyesatkan atau diam terhadap kebenaran. Dua-duanya adalah sumber kerusakan.
Imam Abu 'Ali ad-Daqqaq pernah mengatakan: "Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu."
Gara-gara lidah, seseorang tergiring masuk neraka. Menjadi hamba yang merugi, sebab pahala orang yang berdosa karena kerusakan lidah akan dihadiahkan kepada orang yang didzalimi. Gara-gara lidah yang jahat kita bisa menjadi hamba yang bangkrut (muflis).
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang pada hari kiamat nanti datang membawa pahala shalat, zakat dan puasa, namun di samping itu ia membawa dosa mencela, memaki, menuduh zina, memakan harta dengan cara yang tidak benar, menumpahkan darah, dan memukul orang lain.” (HR.Muslim)
Bahaya pertama adalah tersebarnya kebatilan agama yang diakibakan oleh lidah mengucapkan kata-kata yang batil ataupun banyak bicara pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Kedua-duanya merusak masyarakat dan hubungan baik dengan orang lain.
Oleh sebab itu, jika kita tidak tahu terhadap suatu persoalan sebaiknya diam terlebih dahulu sebelum memperoleh jawaban dari ahlu dzikri (orang yang ahli). Jika tidak, kata-kita kita yang tidak berdasarkan ilmu itu bisa menyesatkan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).
Lebih baik diam jika dihadapkan terhadap persoalan yang belum kita ketahui. Akan tetapi, ingat tidak sekedar diam selamanya. Akan tetapi kita wajib mencari tahu jawaban yang belum kita ketahui. “Janganlah kamu bersikap terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Isra': 36).
Kita mesti bertanya kepada ahlinya terhadap suatu persoalan. Allah SWT memberi arahan: “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43). Janganlah memberi fatwa, jika kita tidak tahu ilmunya, jangan pula menyebarkan informasi yang kita belum paham asal-usulnya. Sebab, ilmu adalah pondasi. Jika ilmu kita salah, maka akan gugurlah seluruh amal-ibadah kita.
Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan orang yang sombong.” (Jami’ al-Shaghir).
Kerusakan ilmu juga diakibatkan oleh banyaknya perkataan batil yang bergulir. Banyak orang ahli bicara dan beretorika namun tidak berilmu. Karena tidak berdasarkan ilmu, maka pembicaraannya bisa menyesatkan, mencerai-beraikan ukhuwah, dan memecah silaturahmi.
Kerusakan yang kedua adalah kebenaran yang disembunyikan dan kebatilan yang dibiarkan. Ini akibat lidah yang diam terhadap kebatilan. Imam Ibn Hajar dalam kitab al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, orang yang dilaknat Allah adalah seorang berilmu (ulama’) yang mendiamkan terhadap bid’ah agama.
Dalam hadis tersebut di atas, Rasulullah SAW tidak sekedar memerintahkan untuk diam, akan tetapi hadis itu memberi pelajaran kita untk tidak berkata kecuali yang baik dan benar.
Kita tidak diperintah untuk terus menjadi ‘orang yang diam’. Orang yang terus-menerus diam adalah orang yang bodoh. Rasulullah SAW tidak mengajarkan itu. Sering kali kita mendengar keluhan saudara-saudara kita: “Saya masih awam belum tahu apa-apa”. Kata-kata ini terus ia ulang-ulangi. Islam tidak mengajarkan kita untuk terus menjadi awam.
Sebab, jika kita terus menjadi awam, maka kita akan terus menjadi orang yang ‘diam’. Padahal kita dituntut untuk mendakwahkan kebaikan, menyebarkan hikmah dan meluruskan kebatilan. Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.”
Jadi kerusakan agama itu bisa karena tersebarnya kebatilan yang digulirkan oleh mulut-mulut yang tak berilmu, bisa juga disebabkan didiamkannya kebatilan oleh orang yang berilmu. * Kholili Hasib/hidayatullah.comtika Berbicara
Karena begitu pentingnya menjaga mulut agar tidak jatuh kepada kebatilan maka, mengetahui adab dalam berbicara adalah keharusan – untuk diamalkan. Sebab kebikan seseorang itu dalam berbicara menunjukkan keilmuan dan keimanannya.
Pertama, di antaranya sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bahwa jika seseorang berbicara, Rasulullah SAW selalu menghadapkan wajah dan tubuhnya ke arah orang yang bicara tersebut. Mendengarkan dengan seksama, tidak memotong pembicaraannya kecuali orang itu yang menghentikan sendiri.
Kedua, jangan tergesa-gesa mengeluarkan kata-kata atau statemen sebelum dipikirkan dan diyakini benarnya. Pikirkanlah terlebih dahulu kata-kata kita dan pikirkan juga apa kira-kira yang akan terjadi seandainya kita tidak membicarakannnya.
Ketiga, pilihkan kata-kata yang kita ucapkan itu dengan pilihan kata yang baik-baik. Hindarkan kosa kata yang buruk dan menyesatkan.
Keempat, ketika berbicara – terutama kepada orang yang lebih tua, guru atau berilmu – hendaknya dengan nada tawadlu’. Jangan tampakkan gaya bicara orang yang sok tahu atau apapun yang menunjukkan kesombongan. Jangan pula bernada mengejek, memandang rendah, menunjukkan ego maupun kelebihan diri kita atau menghasut sesama tema, sebab itu semua menyebabkan pudarnya ukhuwah.
Kelima, jika pembicaraan kita tidak memerlukan penjelasan yang melebar, maka hendaknya perkataan kita ringkas namun mengenai sasaran. Usahakan meringkas kata-kata baik yang perlu disampaikan. Jika penjelasan itu tidak memerlukan keterangan panjang, jangan sampai malah berpanjang lebar sehingga justru akan membuat bosan orang atau malah membingungkan.
Keenam, jika kita dihadapkan dengan orang banyak, maka hadapkanlah pandangan kita secara merata ke semua pendengar. Jangan hanya menatap pada satu orang saja atau sebagaian di antara mereka.
Berkenaan dengan itu semua kita perlu simak hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kebanyakan kesalahan manusia ialah terletak pada lidahnya.” (HR Thabrani).

jadilah islam yang seperti ini

Allah adalah Tuhanku, Islam adalah hidup saya, Alquran adalah panduan saya, NabiMuhammad adalah model peran saya, dan Surga adalah tujuan saya!